Malang Strudel Open Casting Pemain Sitkom Malang Melintang 2
08.44
Teater Ideot
0 Comments
08.44 Teater Ideot 0 Comments
Setelah sukses dengan sitkom Malang Melintang 1. Kali ini Malang Strudel siap mengguncang Malang Raya dengan membuat sitkom "Malang Melintang 2". Nantinya kalian akan langsung dicasting oleh artis-artis ibukota seperti Panji Syahputra, Puadin Redi, Reza Aditya, dan Teuku Wisnu!
Apakah kamu yang kami cari??
1. Umur 10-55 Tahun
2. Bisa berakting
3. Laki-laki/wanita
4. Warga Malang/luar kota Malang
5. Daftar online di www.malangstrudel.com/daftar
6. Upload video aktingmu, durasi maksimal 1 menit di Instagram dengan hashtag #malangmelintangsiktom dan mention akun @malangmelintangsitkom
Pendaftaran ditutup pada tanggal 28 September 2018!
Jadilah bintang di sitkom Malang Melintang 2!
(NB: Open casting ini gratis dan tidak dipungut biaya sama sekali)
Informasi lebih lanjut hubungi:
Ajeng: 081333977622
Ulfi : 081333788011
PENDAFTARAN WORKSHOP ACTING & CASTING FILM: SUDAH DITUTUP!
21.29
Teater Ideot
0 Comments
DENGAN SEGALA PUJI SYUKUR KE HADIRAT ALLAH S.W.T:21.29 Teater Ideot 0 Comments
PENDAFTARAN PESERTA WORKSHOP ACTING & CASTING FILM "BIDADARI LAYAR EMAS" TELAH MEMENUHI KUOTA!
Dengan demikian PENDAFTARAN dinyatakan DITUTUP!!!
UPDATE INFORMASI PENDAFTARAN WORKSHOP ACTING & CASTING FILM
09.10
Teater Ideot
0 Comments
UPDATE INFORMASI!!!09.10 Teater Ideot 0 Comments
Diberitahukan kepada khalayak:
bahwa Jumlah Calon Peserta WORKSHOP ACTING & CASTING FILM Judul: "BIDADARI LAYAR EMAS"
(Dedicated for RAESITA DEWI)
Karya & Sutradara: NAWIR HAMZAH
Produksi: Salah Satu Stasiun TV Nasional Jakarta
(bekerja sama dengan WARNA Communication)
INFO LENGKAP WORKSHOP ACTING & CASTING FILM
10.24
Teater Ideot
0 Comments
INFO LENGKAP!!!10.24 Teater Ideot 0 Comments
Tentang WORKSHOP ACTING & CASTING FILM
Silahkan menyiapkan dan mendaftarkan diri bagi yang berminat!
LIKE or NO-LIKE
17.27
Teater Ideot
0 Comments
17.27 Teater Ideot 0 Comments
Tiba-tiba
saja, saya mendapat WA dari beberapa orang (mereka ada yang sahabat
saya, teman biasa, atau bahkan ada yang cuma kenal karena sama-sama ada
di satu grup WA).
Dalam chatingan WA itu mereka meminta saya supaya “nge-Like” mereka pada sebuah instagram “tertentu” untuk sebuah “perebutan” status “tertentu” dalam sebuah lomba/pemilihan/kontestasi/atau apa lagilah namanya.
(Sengaja tidak saya sebutkan nama atau istilah dari kepentingannya, untuk menghindari terjerat ‘aturan main’ dunia maya, yang kadang bisa membuat celaka).
Bayangkan, beberapa orang, sekaligus minta saya melakukan “hal yang sama”. Nge-Like, untuk sebuah pencapaian/ pemenangan dalam perebutan status ‘tertentu’ itu.
Gila!
Saya jadi tak habis pikir lagi. Zaman apa ini namanya?
Apakah benar ini adalah era “zaman now”, dimana logika hidup sudah ‘kacau balau’ dan tak lagi bisa dipahami oleh logika akal sehat dan logika sebab-akibat yang ‘alamiah’.
Untuk meraih sebuah ‘status’ keterpilihan dari sebuah persaingan, perebutan, pemilihan, atau kontestasi, orang sudah tak lagi mengandalkan “kualitas” yang sebenarnya. Namun, hal itu dibangun dengan sebuah ‘penggalangan’ dukungan, yang diperoleh dengan cara ‘meminta-minta’ dukungan, bahkan kadang terasa sebagai sebuah upaya ‘pengemisan’, demi untuk meraih harapan ‘keterpilihan’.
Ini memang bukan hal yang baru, tapi jika hal ini terus-terusan digalakkan, maka ‘kemajuan zaman’ macam apa yang sedang kita ciptakan?
Sungguh, saya merasa, bahwa demi untuk sebuah “popularitas” dan ‘kemenangan’ dalam kontestasi, maka “manusia-manusia yang sudah melegitimasi dirinya sebagai generasi zaman now”, telah benar-benar menghambakan dirinya ‘dalam rekayasa teknologi’.
Manusia, telah rela untuk ‘meminta-minta’ di-Like sebagai pengakuan akan sosok yang dianggap ‘berprestasi’, dan ‘menyediakan dirinya’ sebagai komoditas yang dihitung dengan ‘jumlah akses’ yang sebetulnya cuma sebagai hitungan ‘kuantitas’ dari sebuah ‘akumulasi’ bisnis on-line.
Maka, saya minta maaf kepada semua pihak yang telah menghubungi saya untuk melakukan “hal gila” itu, tapi saya tak melakukannya.
Sebab, saya masih ingin menjadi ‘manusia yang waras’ secara logika akal sehat, dan tak ingin ikut nimbrung ‘main akal-akalan’ seperti itu.
Sungguh, saya sama sekali tak punya hak untuk melarang semua perilaku itu dilakukan oleh siapa saja, tapi saya juga cuma meminta, agar Anda semua, yang setuju akan ‘upaya’ akal-akalan yang penuh ‘kepura-puraan’ itu, juga tidak “melarang” saya untuk tidak bersepakat dengan semua itu.
Semua orang berhak melakukan apa saja, termasuk saya juga berhak untuk tidak “menuruti” perminta nge-Like “kalian” yang telah mengirim permintaan kepada saya.
Jangan karena saya tak menuruti perminta kalian semua (yang tentunya telah mengirimkan permintaan kepada saya) lantas, hubungan kita menjadi ‘terganggu” karena itu.
Selebihnya, ya terserah kalianlah.
Semoga, pertemanan, persahabatan, atau per….an yang lainnya, tak ‘terdestruksi’ oleh pernyataan saya ini.
Sungguh, maafkan saya!
(Tentang Teater & Kehidupan – Pasal 13)
MOEHAMMAD SINWAN
Dalam chatingan WA itu mereka meminta saya supaya “nge-Like” mereka pada sebuah instagram “tertentu” untuk sebuah “perebutan” status “tertentu” dalam sebuah lomba/pemilihan/kontestasi/atau apa lagilah namanya.
(Sengaja tidak saya sebutkan nama atau istilah dari kepentingannya, untuk menghindari terjerat ‘aturan main’ dunia maya, yang kadang bisa membuat celaka).
Bayangkan, beberapa orang, sekaligus minta saya melakukan “hal yang sama”. Nge-Like, untuk sebuah pencapaian/ pemenangan dalam perebutan status ‘tertentu’ itu.
Gila!
Saya jadi tak habis pikir lagi. Zaman apa ini namanya?
Apakah benar ini adalah era “zaman now”, dimana logika hidup sudah ‘kacau balau’ dan tak lagi bisa dipahami oleh logika akal sehat dan logika sebab-akibat yang ‘alamiah’.
Untuk meraih sebuah ‘status’ keterpilihan dari sebuah persaingan, perebutan, pemilihan, atau kontestasi, orang sudah tak lagi mengandalkan “kualitas” yang sebenarnya. Namun, hal itu dibangun dengan sebuah ‘penggalangan’ dukungan, yang diperoleh dengan cara ‘meminta-minta’ dukungan, bahkan kadang terasa sebagai sebuah upaya ‘pengemisan’, demi untuk meraih harapan ‘keterpilihan’.
Ini memang bukan hal yang baru, tapi jika hal ini terus-terusan digalakkan, maka ‘kemajuan zaman’ macam apa yang sedang kita ciptakan?
Sungguh, saya merasa, bahwa demi untuk sebuah “popularitas” dan ‘kemenangan’ dalam kontestasi, maka “manusia-manusia yang sudah melegitimasi dirinya sebagai generasi zaman now”, telah benar-benar menghambakan dirinya ‘dalam rekayasa teknologi’.
Manusia, telah rela untuk ‘meminta-minta’ di-Like sebagai pengakuan akan sosok yang dianggap ‘berprestasi’, dan ‘menyediakan dirinya’ sebagai komoditas yang dihitung dengan ‘jumlah akses’ yang sebetulnya cuma sebagai hitungan ‘kuantitas’ dari sebuah ‘akumulasi’ bisnis on-line.
Maka, saya minta maaf kepada semua pihak yang telah menghubungi saya untuk melakukan “hal gila” itu, tapi saya tak melakukannya.
Sebab, saya masih ingin menjadi ‘manusia yang waras’ secara logika akal sehat, dan tak ingin ikut nimbrung ‘main akal-akalan’ seperti itu.
Sungguh, saya sama sekali tak punya hak untuk melarang semua perilaku itu dilakukan oleh siapa saja, tapi saya juga cuma meminta, agar Anda semua, yang setuju akan ‘upaya’ akal-akalan yang penuh ‘kepura-puraan’ itu, juga tidak “melarang” saya untuk tidak bersepakat dengan semua itu.
Semua orang berhak melakukan apa saja, termasuk saya juga berhak untuk tidak “menuruti” perminta nge-Like “kalian” yang telah mengirim permintaan kepada saya.
Jangan karena saya tak menuruti perminta kalian semua (yang tentunya telah mengirimkan permintaan kepada saya) lantas, hubungan kita menjadi ‘terganggu” karena itu.
Selebihnya, ya terserah kalianlah.
Semoga, pertemanan, persahabatan, atau per….an yang lainnya, tak ‘terdestruksi’ oleh pernyataan saya ini.
Sungguh, maafkan saya!
(Tentang Teater & Kehidupan – Pasal 13)
MOEHAMMAD SINWAN
TEATER sebagai SENI PERTUNJUKAN versus TEATER sebagai INDUSTRI KREATIF
10.54
Teater Ideot
0 Comments
10.54 Teater Ideot 0 Comments
Ketika
negeri ini tiba-tiba merasa memiliki ‘kesadaran’ baru akan “arus” industri
kreatif, maka seperti sedang memacu kuda untuk berlari kencang mengejar
‘perasaan ketertinggalan’ , gerakan pemberdayaan industri kreatif pun menjadi
‘mengarus deras’.
Sedikit-sedikit
bicara soal indsutri kreatif.
Sedikit-sedikit
membuat segala upaya sebagai bagian dari industri kreatif.
Sehingga,
seakan-akan semua yang ada dan tumbuh dalam kehidupan ini adalah menjadi ranah
industri kreatif.
Industri
kreatif menjadi slogan dan spirit gerakan, dalam rangka sebuah upaya untuk
pemberdayaan hidup atas nama ‘mensejahterakan bangsa’ dan mengindustrikan
segala potensi bangsa.
Sayangnya,
semangat industri kreatif menjadi begitu kebablasan, sehingga hal-hal yang
sebetulnya tidak ‘pas’; tidak ‘matching’ atau tidak pada bingkainya,
dipaksakan dalam koridor ‘industri kreatif’.
Tak semua
yang ada dalam hidup ini bisa dikalkulasi secara ‘industri’. Seperti contoh ‘teater’
misalnya.
Tak semua
aktivitas teater merupakan aktivitas industri.
Tak semua
kelompok teater adalah komunitas-komunitas industri.
Dan tak
semua kehidupan berteater adalah kehidupan industri.
Namun,
mengapa syahwat “industrialisasi” telah memandang seakan-akan semua lini kerja
kreatifitas merupakan asset dan komoditas industri.
Teater
memang salah satu bidang seni yang ‘bisa jadi’ merupakan pekerjaan yang bisa
mendatangkan uang.
Tapi,
mengkalkulasi, menyikapi, bahkan memprospek teater sebagai bagian dari industri
kreatif adalah langkah dan sikap yang terlalu “mematerialisasi” kesenian.
Tak semua
urusan dalam hidup itu bisa dibawa ke ranah ‘materialisme’.
Meski dalam
kehidupan ini tak ada yang bisa terbebas dari membutuhkan uang, namun ‘nuansa
keberuangan’ tak boleh meluluh-lantakkan esensi seni yang pada hakikat bukan
‘material’, namun lebih pada estetika atau keindahan.
Tak semua
bisa dibeli dengan uang. Dan tak semua kebahagian atau keindahan itu selalu
berkaitan erat dengan uang.
Maka,
menyikapi fenomena ‘seni teater’ dengan cara pandang orang dagang,
mengkalkulasi potensi kelompok teater sebagai ‘naluri industri’, sungguh itu
merupakan cara pandang dan perilaku yang ‘serampangan’, ngawur, dan tanda
kurangnya nilai ‘kebijakan’.
Semua
kelompok teater memang pasti punya cita-cita menjadi professional.
Semua orang
teater pasti juga memiliki harapan bisa hidup layak dari keberteaterannya.
Pementasan-pementasan
teater pastilah diharapkan bisa menghasilkan uang.
Dan
berproses teater itu sendiri sesungguh juga tak bebas dari membutuhkan biaya
produksi yang berupa “uang”.
Namun,
sekali lagi, menyikapi sebuah ‘pementasan’ teater sebagai asset atau
komoditas perilaku industri, sungguh itu
telah mendangkalkan hal yang bernilai ‘non-materi’ menjadi ‘material’
sekali.
Tapi, jika
kita mampu dengan tepat menjaga proporsi, dan mampu menyikapi dengan benar
bagaimana teater mesti harus dikelola, dan pentas teater harus ‘disentuh’
dengan manajemen bisnis yang “profitable”, di situlah kita akan bisa berharap
bahwa seni teater kita akan menjadi tumbuh dan berkembang secara professional
dan proporsional.
Berteater
memang butuh uang, namun jangan sampai dengan uang kita mengukur ‘kualitas’
keberteateran kita.
Sebaliknya,
biarlah ‘kualitas’ keberteateran (karya teater) kita, yang akan menentukan
(menyebabkan) uang mendatangi kita.
Teater
adalah ‘seni pertunjukan’ yang memberikan nilai-nilai indah dalam kehidupan
kita.
Bukan
sebaliknya, teater adalah bagian dari syahwat ‘industrialisasi’ kreativitas
kita, yang hanya akan menjadikan kualitas berteater kita menjadi dangkal karena
“uang oriented” yang menjadi ‘akidah’ keberteateran kita.
Boleh
bersepakat, atau tak bersepakat sama sekali…
Semua adalah
pilihan!
(Tentang
Teater & Kehidupan – Pasal 12)
MOEHAMMAD SINWANTeater adalah salah satu jalan untuk “menjadi berguna”
09.34
Teater Ideot
0 Comments
09.34 Teater Ideot 0 Comments
Banyak di antara kita yang pada akhrinya kehilangan kesungguhan,
kehilangan semangat, kehilangan spirit, dan pada akhirnya kehilangan minat
untuk berteater.
Banyak pula di antara kita, yang sampai saat ini masih ‘bertahan’
untuk berteater, tetapi mulai kehilangan arah, kehilangan komitmen, kehilangan
kebermaknaan, dan kehilangan daya juang, karena mulai kehilangan “esensi” dalam
memandang dan menjalani “apa itu teater”.
Teater itu bergantung bagaimana kita memandang dan menyikapinya. Ia
akan menjadi penting jika kita memandang dan memaknainya sebagai hal ‘penting’.
Dan ia akan menjadi tak penting, jika kita menganggap memang tak penting dalam
kehidupan kita.
Namun, menurut hemat saya, sebagai orang-orang yang telah terlanjur
‘menyemplungkan’ diri dalam “dunia unik dan eksentrik” yang bernama
teater ini, semestinya kita tidak salah dalam menyikapi dan menjalani kehidupan
berteater kita sendiri.
Teater adalah salah satu jalan bagi kita untuk “menjadi berguna”.
Siapa yang berbuat untuk hal-hal yang ‘berguna’, maka sesungguhnya
dia sedang membangun “kebergunaan kehidupannya”.
(Tentang
Teater & Kehidupan – Pasal 11)
MOEHAMMAD SINWAN Teater adalah tempat untuk “menciptakan kebahagiaan bersama” (1)
06.25
Teater Ideot
0 Comments
06.25 Teater Ideot 0 Comments
Teater bukan tempat untuk mencari ‘kesenangan’, tapi teater adalah tempat untuk ‘menciptakan kebahagiaan bersama’.
Maka, teater itu harus membahagiakan.
Dan kebahagiaan itu harus diciptakan.
Sebab kebahagiaan itu bukan sesuatu yang bisa diraih dari sekedar pencarian.
Namun ia hadir sebagai sebab dari sebuah kerja keras atau perjuangan.
Dan kebahagian dalam teater itu harus tercipta dalam ‘kebersamaan’, artinya:
Bahwa kebahagiaan dalam teater itu harus bisa dirasakan secara bersama-sama.
Jika dalam peristiwa sebuah pementasan: kebahagiaan para pelaku teater akan didapat jika para penonton merasa ‘bahagia’, karena terpuaskan dari pementasan yang telah ditontonnya.
Jika dalam proses latihan: maka kebahagian pelatih akan dirasakannya, jika para peserta merasa bahagia dan puas karena latihannya menarik, berkualitas, dan penuh kebermaknaan.
Singkat kata, kebahagiaan itu harus diciptakan, bukan dicari.
Kebahagiaan bersama itu akan tercipta, jika semua pihak berhasil terbahagiakan.
Dan teater itu adalah tempat menciptakan kebahagian, dan bukan tempat orang-orang pencari kesenangan.
Sebab para pencari kesenangan itu adalah orang-orang yang memiliki pandangan:
bahwa ‘kesenangan’ itu harus dicari
sebab kesenangan itu letaknya di luar diri mereka
Dan para pencari kesenangan itu adalah orang yang tak memiliki konsistensi, sebab:
Mereka hanya akan ‘datang’ jika kesenangan bisa dirasakan.
Dan mereka akan ‘pergi’ jika rasa senang, tak bisa mereka dapatkan.
Jika, “Teater bukan tempat untuk mencari kesenangan, namun teater adalah tempat untuk menciptakan kebahagiaan bersama”: apakah kita masih akan berteater hanya untuk ‘bersenang-senang’ belaka?■
(Tentang Teater & Kehidupan – Pasal 10)
MOEHAMMAD SINWAN
Teater itu bukan ‘agama’ atau pun ‘Ideologi’!
05.40
Teater Ideot
0 Comments
05.40 Teater Ideot 0 Comments
Memang,
teater itu bukan ‘agama’.
Tapi jangan
sampai teater menjauhkan kita dari urusan-urusan agama.
Dan memang
juga, teater itu bukan ‘ideologi’.
Maka jangan
sampai dengan berteater kita kehilangan ‘ideologi’ dan tak berani
‘beridealisasi’.
Teater,
memang bisa jadi, hanya salah satu cara bagi hidup kita agar ‘bermakna’ dan
‘berguna’.
Selebihnya,
teater tak berlebihan, jika kita pilih sebagai ‘jalan’ untuk berbuat
kebaikan-kebaikan, atau bahkan untuk mencari ‘kebenaran’ dalam kehidupan kita.
Sebab,
teater adalah salah satu bentuk seni.
Sementara
menurut Imam Al-Ghazali, bahwa ada empat pintu menuju kebenaran, dan salah
satunya adalah ‘seni’.
(Tentang
Teater & Kehidupan – Pasal 9)
MOEHAMMAD
SINWAN
LATIHAN TEATER itu lebih penting dari PENTAS TEATER
11.13
Teater Ideot
0 Comments
11.13 Teater Ideot 0 Comments
Sebab Pentas Teater itu adalah hasil dari Latihan
Sebab kualitas Pentas Teater itu sangat bergantung dari kualitas latihan
Sebab meremehkan latihan itu sama dengan meremehkan eksistensi Pementasan
Sebab menyia-nyiakan latihan itu sangat berbanding lurus dengan meremehkan calon penonton yang bakal diundang
Jika kita sadar bahwa tak ada kesuksesan yang bisa dicapai dengan ‘ketaksungguhan’, kenapa kita masih enjoy dengan sikap yang ogah-ogahan?
Sungguh, Latihan Teater itu jauh lebih penting dari hasrat sebuah Pementasan!
Jika kita sudah bisa ‘mementingkan’ latihan, maka pementasan-pementasan kita pun akan selalu “memuaskan”!
(Tentang Teater & Kehidupan – Pasal 6)
MOEHAMMAD SINWAN
TEATER adalah SENI PERTUNJUKAN
01.16
Teater Ideot
0 Comments
01.16 Teater Ideot 0 Comments
Sebagaimana marwahnya, "teater" adalah "sebuah pertunjukan" yang harus "menakjubkan" bagi penontonya. Dan bukan sekedar upaya bermain-main pada "wilayah gagasan atau metode", atau “gede pada isu gagasan dan metode", sementara ketika hadir sebagai pementasan "lebih cenderung" mengecewakan penontonnya.
Pentas Teater itu juga bukanlah "gerakan kesenian" yang mengejar "sensasional", tapi ia adalah "sebentuk pertanggungjawaban moral" dari sebuah proses dan pilihan hidup yang telah kita yakini.
Salah satu adegan drama monolog:
"TERSESAT
DI JALAN
BERSIMPANG"
Produski:
Teater IDEōT
Naskah/Sutradara:
MOEHAMMAD
SINWAN
Aktor:
AGUS FAUZI
21
Desember 2015:
Di
Gedung Laboratorium Drama – UM
23 Desember 2015:
Di
Gedung Cak Durasim – Taman Budaya
Surabaya
Langganan:
Postingan (Atom)
Popular Posts
- Malang Strudel Open Casting Pemain Sitkom Malang Melintang 2
- 32 Tahun Teater Ideot: Forum Dialektika Teater Malang
- TEATER sebagai SENI PERTUNJUKAN versus TEATER sebagai INDUSTRI KREATIF
- Diskon Buku Narasi Kehidupan Teater Dalam Rangka Hari Teater Dunia
- Latihan Bersama Lekboss di SMK Negeri 6 Malang
- PENDAFTARAN ANGGOTA BARU TEATER IDEoT (Angkatan ke-2 2018): TINGGAL 19 hari lagi (Humas Teater IDEoT)
- TEATER adalah SENI PERTUNJUKAN
- REKRUITMEN ANGGOTA BARU KELAS #5 ANGKATAN 2020
- Teater Ideot Menerima Anggota Baru
- Teater itu bukan ‘agama’ atau pun ‘Ideologi’!
Media sosial
Labels
Live Traffic
Teater Ideot. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar: