TEATER sebagai SENI PERTUNJUKAN versus TEATER sebagai INDUSTRI KREATIF
Ketika
negeri ini tiba-tiba merasa memiliki ‘kesadaran’ baru akan “arus” industri
kreatif, maka seperti sedang memacu kuda untuk berlari kencang mengejar
‘perasaan ketertinggalan’ , gerakan pemberdayaan industri kreatif pun menjadi
‘mengarus deras’.
Sedikit-sedikit
bicara soal indsutri kreatif.
Sedikit-sedikit
membuat segala upaya sebagai bagian dari industri kreatif.
Sehingga,
seakan-akan semua yang ada dan tumbuh dalam kehidupan ini adalah menjadi ranah
industri kreatif.
Industri
kreatif menjadi slogan dan spirit gerakan, dalam rangka sebuah upaya untuk
pemberdayaan hidup atas nama ‘mensejahterakan bangsa’ dan mengindustrikan
segala potensi bangsa.
Sayangnya,
semangat industri kreatif menjadi begitu kebablasan, sehingga hal-hal yang
sebetulnya tidak ‘pas’; tidak ‘matching’ atau tidak pada bingkainya,
dipaksakan dalam koridor ‘industri kreatif’.
Tak semua
yang ada dalam hidup ini bisa dikalkulasi secara ‘industri’. Seperti contoh ‘teater’
misalnya.
Tak semua
aktivitas teater merupakan aktivitas industri.
Tak semua
kelompok teater adalah komunitas-komunitas industri.
Dan tak
semua kehidupan berteater adalah kehidupan industri.
Namun,
mengapa syahwat “industrialisasi” telah memandang seakan-akan semua lini kerja
kreatifitas merupakan asset dan komoditas industri.
Teater
memang salah satu bidang seni yang ‘bisa jadi’ merupakan pekerjaan yang bisa
mendatangkan uang.
Tapi,
mengkalkulasi, menyikapi, bahkan memprospek teater sebagai bagian dari industri
kreatif adalah langkah dan sikap yang terlalu “mematerialisasi” kesenian.
Tak semua
urusan dalam hidup itu bisa dibawa ke ranah ‘materialisme’.
Meski dalam
kehidupan ini tak ada yang bisa terbebas dari membutuhkan uang, namun ‘nuansa
keberuangan’ tak boleh meluluh-lantakkan esensi seni yang pada hakikat bukan
‘material’, namun lebih pada estetika atau keindahan.
Tak semua
bisa dibeli dengan uang. Dan tak semua kebahagian atau keindahan itu selalu
berkaitan erat dengan uang.
Maka,
menyikapi fenomena ‘seni teater’ dengan cara pandang orang dagang,
mengkalkulasi potensi kelompok teater sebagai ‘naluri industri’, sungguh itu
merupakan cara pandang dan perilaku yang ‘serampangan’, ngawur, dan tanda
kurangnya nilai ‘kebijakan’.
Semua
kelompok teater memang pasti punya cita-cita menjadi professional.
Semua orang
teater pasti juga memiliki harapan bisa hidup layak dari keberteaterannya.
Pementasan-pementasan
teater pastilah diharapkan bisa menghasilkan uang.
Dan
berproses teater itu sendiri sesungguh juga tak bebas dari membutuhkan biaya
produksi yang berupa “uang”.
Namun,
sekali lagi, menyikapi sebuah ‘pementasan’ teater sebagai asset atau
komoditas perilaku industri, sungguh itu
telah mendangkalkan hal yang bernilai ‘non-materi’ menjadi ‘material’
sekali.
Tapi, jika
kita mampu dengan tepat menjaga proporsi, dan mampu menyikapi dengan benar
bagaimana teater mesti harus dikelola, dan pentas teater harus ‘disentuh’
dengan manajemen bisnis yang “profitable”, di situlah kita akan bisa berharap
bahwa seni teater kita akan menjadi tumbuh dan berkembang secara professional
dan proporsional.
Berteater
memang butuh uang, namun jangan sampai dengan uang kita mengukur ‘kualitas’
keberteateran kita.
Sebaliknya,
biarlah ‘kualitas’ keberteateran (karya teater) kita, yang akan menentukan
(menyebabkan) uang mendatangi kita.
Teater
adalah ‘seni pertunjukan’ yang memberikan nilai-nilai indah dalam kehidupan
kita.
Bukan
sebaliknya, teater adalah bagian dari syahwat ‘industrialisasi’ kreativitas
kita, yang hanya akan menjadikan kualitas berteater kita menjadi dangkal karena
“uang oriented” yang menjadi ‘akidah’ keberteateran kita.
Boleh
bersepakat, atau tak bersepakat sama sekali…
Semua adalah
pilihan!
(Tentang
Teater & Kehidupan – Pasal 12)
MOEHAMMAD SINWAN
0 komentar: